Urban ID - v align="left">
Sidang gugatan belasan warga Sumatera Selatan (Sumsel) terhadap tiga perusahaan milik Sinar Mars Group yang diduga bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terus berlanjut di Pengadilan Negeri Palembang.
Urban ID - v align="left">
Sidang gugatan belasan warga Sumatera Selatan (Sumsel) terhadap tiga perusahaan milik Sinar Mars Group yang diduga bertanggung jawab atas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) terus berlanjut di Pengadilan Negeri Palembang.
Dalam sidang tersebut, hakim mengizinkan Greenpeace untuk bergabung sebagai penggugat intervensi, memperkuat posisi warga dalam menuntut keadilan.
Perwakilan kuasa hukum masyarakat, Sekar Banjaran Aji, mengungkapkan bahwa gugatan warga bertujuan untuk menuntut ganti rugi baik materil maupun immateril akibat kebakaran hutan yang terjadi dalam tiga tahun terakhir. Greenpeace yang selama ini aktif dalam isu karhutla, turut serta dalam gugatan ini guna memperkuat posisi hukum masyarakat.
“Greenpeace masuk sebagai penggugat intervensi untuk mendukung warga yang telah berjuang di pengadilan melawan tiga perusahaan di Sumsel,” ujar Sekar.
Greenpeace dijadwalkan akan memasukkan gugatan pada pekan ini. Meskipun bergabung dalam proses persidangan yang sama, gugatan yang diajukan Greenpeace memiliki perbedaan dengan gugatan warga. Jika warga berfokus pada tuntutan ganti rugi, Greenpeace menyoroti aspek pemulihan lingkungan, menegaskan bahwa kawasan yang rusak akibat kebakaran harus dipulihkan dan tidak lagi digunakan untuk perkebunan hutan tanaman industri (HTI).
Tiga perusahaan milik Sinar Mars Grup yang digugat adalah PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries). Ketiga perusahaan ini beroperasi di kawasan hidrologi gambut (KHG) yang mengalami kebakaran hebat pada 2019-2023, menyebabkan kerusakan lingkungan yang berkelanjutan.
“Keikutsertaan Greenpeace akan semakin memperkuat pembuktian bahwa perusahaan-perusahaan ini memiliki andil besar dalam kebakaran yang terjadi,” tambah Sekar.
Gugatan warga sipil ini menjadi momentum penting dalam menegaskan bahwa hak atas lingkungan yang sehat merupakan hak dasar setiap warga negara. Sidang ini bertujuan membuktikan bahwa kebakaran hutan bukan sekadar bencana alam, melainkan akibat dari kelalaian perusahaan dalam mengelola lahan.
“Pembuktian hukum akan dilakukan dengan metode market share liability, yakni membuktikan sumber asap, luas area terbakar, serta kepemilikan hak konsesi di wilayah tersebut,” jelas Sekar.
Sekar juga menyoroti perbedaan gugatan ini dengan gugatan yang pernah diajukan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) terhadap BMH pada 2016. Jika gugatan pemerintah lebih bersifat administratif, gugatan warga bertujuan untuk mewakili kepentingan masyarakat yang terdampak langsung oleh karhutla.
“Bayangkan jika semua warga Sumsel yang terdampak karhutla menggugat perusahaan-perusahaan ini. Itu akan menjadi langkah besar dalam menegakkan keadilan lingkungan,” pungkasnya.
Dengan adanya dukungan dari Greenpeace, perjuangan warga Sumsel untuk mendapatkan keadilan atas kerusakan lingkungan yang mereka alami semakin kuat. Sidang ini diharapkan dapat menjadi preseden bagi penegakan hukum lingkungan di Indonesia.