Urban ID - Belakangan waktu terakhir naskah RUU Permusikan menjadi topik hangat di jagat musisi Indoensia. RUU yang digagas anggota legislatif Anang Hermansyah dan tim Komisi X DPR meresahkan sejumlah musisi di industri musik Tanah Air.
Mereka menganggap beberapa naskah dalam RUU Permusikan membatasi dan menghambat proses kreatif musisi. Dalam kata lain, naskah RUU Permusikan dianggap merepresi para pekerja musik.
Selain itu, RUU Permusikan juga dianggap tumpang-tindih dengan beberapa UU lainnya, seperti Undang-Undang Hak Cipta, Undang-Undang
Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, dan Undang-Undang ITE, hingga Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan.
Untuk itu dibentuklah Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan. Di dalamnnya, terdapat lebih dari 250 musisi seperti Danilla, Rara Sekar, Mondo Gascaro, Jerinx ‘SID’, Marcell Siahaan, dan masih banyak lagi, yang menentang RUU Permusikan.
Menurut Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan yang disingkat KNTL RUUP, ada beberapa hal yang menjadi perhatian utama dari naskah RUU Permusikan. Yang pertama adalah Pasal karet.
“Pasal karet seperti ini membukakan ruang bagi kelompok penguasa atau
siapapun untuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai,” ujar Cholil Mahmud ‘Efek Rumah Kaca’ seperti dilansir dari Kumparan, Selasa (5/2/2019).
Jason Ranti membuatnya lebih singkat, padat, dan jelas. “Ini kan gaya Orde Baru,” ucapnya.
Kedua, memarjinalisasi musisi independen dan berpihak pada industri besar. Hal ini berhubungan dengan Pasal 10 naskah RUU Permusikan yang mengatur distribusi karya musik.
Tepatnya, tidak memberikan ruang kepada musisi untuk melakukan distribusi karyanya secara mandiri.
“Referensi pembuatan RUU ini tidak paham gerakan dan napas kelompok musik bawah tanah,” kata Endah Widiastuti ‘Endah N Rhesa’.
Ketiga, naskah RUU Permusikan dianggap memaksakan kehendak dan mendiskriminasi, khususnya di bagian uji kompetensi dan sertifikasi. Hal ini dianggap berpotensi mendiskriminasi musisi.
“Lembaga sertifikasi yang ada biasanya sifatnya tidak memaksa pelaku musik, tetapi hanya pilihan atau opsional,” kata Mondo Gascaro.
Keempat, naskah RUU Permusikan dilihat hanya memuat informasi umum dan mengatur hal yang tidak perlu
diatur. Pasal 11 dan 15, misalnya, yang dianggap tidak memiliki nilai lebih. Begitu juga dengan Pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label berbahasa Indonesia.
“Seni itu sendiri merupakan bahasa, sehingga penggunaan label berbahasa Indonesia pada karya seni seharusnya tidak perlu diatur,” jelas Puti Chitara ‘Barasuara’.
Intinya, KNTL RUUP melihat ada lebih dari 19 Pasal yang bermasalah dari RUU Permusikan. Mereka menganggap hal itu menunjukkan kekurangpahaman para penyusun naskah RUU Permusikan tentang keanekaragaman potensi dan tantangan yang ada di dunia musik.(net)